Cersex Tante – Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok – Bacaan seks, bacaan dewasa, bacaan ngentot, bacaan panas, narasi sex terkini 2023. Saya ialah mahasiswa arsitektur tingkat akhir dalam suatu kampus swasta di kota Bandung, dan sudah waktunya melakukan pekerjaan akhir sebagai persyaratan kelulusan. Untung, saya kebagian seorang dosen yang rileks dan kebenaran ialah seorang ibu. Asna namanya, umurnya 30 thn pintar dan elok
sulit untuk mengfotokan kejelitaan si ibu. Bersuami seorang dosen juga yang kebenaran ialah favorite beberapa anak karena moderat dan benar-benar akomodatif. Secara singkat cukup banyak teman-kawanku yang sedikit iri mengenali saya kebagian pendidik Bunda Asna.
“Dasar lu… sedap sangat kebagian bunda yang elok cantik…” Jika sudah demikian saya cuma tersenyum kecil, toh dapat apa sich pikirku.
Kelompok Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok
narasi seks, narasi dewasa, narasi ngentot, narasi cabul
Narasi Seks 2023 Proses pendampingsi dengan Bunda Asna benar-benar mengasyikan, karena bukan hanya beliau berpikiran luas, saya jg disuguhi kemolekan badan dan muka beliau yang sembunyi-sembunyi kukagumi. Karena itu dibandingkan teman-kawanku termasuk rajin berasistensi dan perkembangan fotoku cukup cepat. Tiap pendampingsi mengusung kita berdua terus berteman keduanya. Bahkan juga sebuahsaat, saya membawa sejumlah kuntum bunga aster yang kutahu benar-benar dicintainya. Sekalian tersenyum dianya berkata,
“Kamu coba membujuk Ibu, Ben?”
Saya ingat mukaku saat itu segera bersemu merah dan untuk hapus grogiku, saya segera melangsungkan photo dan menanyakan mana-mana. Tp tidak batal kuperhatikan ada binar berbahagia di mata beliau. Sehabis peristiwa itu setiap asitensi saya seringkali merasakan beliau sedang melihatku dengan pandangan yang entahlah apakah arti, beliau semakin seringkali sharing berkenaan banyak hal. Pendampingsi menjadi melantur ke berbagai subyek, dari masalah di dalam kantor dosen sampai anak tunggalnya yang barusan keluarkan kata pertama kalinya. Sebenarnya saya menyenangi perubahan ini tapi tidak ada satu juga pikiran aneh dalam benakku karena hormat pada beliau.
Hingga… di saat peristiwa. Sebuahmalam saya pendampingsi sedikit tengah malam dan beliau bisa dibuktikan masih tetap berada di kantor jam 8 malam tersebut. Yang pertama berkesan ialah mata beliau yang cantik itu sedikit merah dan sembab. “Wah, saat yang buruk nih”, pikirku. Tp dianya menunjuk ke bangku dan sedikit tersenyum menjadi aku pikir tidak ada apa-apa jika kulanjutkan. Sehabis semua proses pendampingsi usai saya membeAsnakan diri menanyakan, “Ada apakah Bu? Kok terlihat cukup bersedih?”
Gelap menyelimutinya kembali mukanya walaupun berusaha diselinapkannya senyuman manisnya.
“Ah biasa sajalah Ben, masalah.”
Ya sudah jika demikian saya selekasnya bergerak dan memselesaikan semua kertasku. Dianya termenung lama dan saat saya sudah capai pintu, baru…
“Golongan Pria bisa dibuktikan teratur egois ya Beni?”
Saya kembali dan sehabis berpikiran cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan menanyakan berhati-hati.
“Jika bisa saya mengetahui, mengapa Bunda menjelaskan demikian? Karena sepengetahuan saya wanita bisa dibuktikan teratur menjelaskan demikian, tp saya tidak sama pendapat karena certain individu punyai ego-nya masing-masing, dan tidak dapat dikelompokkan dalam sebuahstereotype tertentu.”
Matanya mulai nasib dan kita beradu argumen panjang berkenaan subyek itu dan ujungnya terbukalah rahasia perkawinannya yang saat lagi ini mereka menyembunyikan. Iya, jika pasangan itu terlihat serasi oleh kita mahasiswa, mereka sangat kaya, ke-2 nya berparas good looking, dan faktor-faktor lain yang dapat membuat pasangan lain iri melihat kecocokan mereka. Tapi semua itu tutupi sebuah masalah fundamental jika tidak ada cinta dari mereka. Mereka berdua dijodohkan oleh orangtua mereka yang konvensional dan saat lagi ini ke-2 nya nasib dalam kepalsuan. Faktor ini diperkurang baik oleh kasarnya tindakan Pak Indra (suami beliau) di dalam rumah pada Bu Asna (bukti yang sedikit membuatku terhenyak, ugh begitu palsunya manusia karena saat lagi ini di muka kita beliau berkesan sebagai figur yang peduli dan gentle).
Secara singkat beliau sekalian terisak menumpahkan isi hatinya malam itu dan itu semua membuat dianya sedikit lega, dan mengusung hati aneh buatku, membuat saya merasa penting dan dekat sama beliau. Kita putuskan untuk jalan malam itu, ke Lembang dan beliau memberikan kehormatan buatku dengan turut ke sedan punyaku. Sedikit grogi kubukakan pintu buatnya dan tergesa masuk lantas mengemudikan mobil dengan extra berhati-hati. Diperjalanan kita lebih cukup banyak diam sekalian nikmati gubahan kreasi Chopin yang mengalun halus melalui stereo. Kucoba sedikit bergurau dan menghangatkan situasi dan kelihatannya cukup sukses karena beliau bahkan juga sudah dapat ketawa terpingkal-pingkal sekarang ini.
“Kamu tentu sudah mempunyai kekasih ya Beni?”
“Eh eh eh”, saya gelagapan.
Iya sich memang, bahkan juga ada banyak, tapi tentu saja saya tidak akan mengaku faktor itu di depannya.
“Tidak kok Bu… belum ada… mana laris saya, Bu…” balasku sekalian tersenyum lebar.
“Huuu, berbohong!” teriaknya sekalian dicubitnya lengan kiriku.
“Cowok seperti kalian tentu playboy deh… ngaku saja!”
Saya tidak dapat menjawab, kepalaku masih tetap disanggupi bukti jika beliau barusan mencubit lenganku. Ugh, begitu berdebar-debar dadaku dibikinnya. Berbeda jika teman wanitaku yang lain yang mencubit.
Tengah malam sudah datang dan sudah waktunya beliau kuantar pulang sehabis nikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Wilayah Dago Pakar maksudnya dan waktu itu sudah jam satu malam saat kita berdua capai gerbang rumah beliau yang eksotis.
“Ingin tidak kalian singgah ke rumahku dahulu, Ben?” ajaknya.
“Loh apa kata Bapak entar Bu?” tanyaku.
“Ah Bapak kembali ke Kupang kok, riset.”
Hm… benakku sangsi tapi senyuman manis yang menghias bibir beliau membuat bibirku berkata menyetujui. Saya merasakan diriku ditarik-tarik manja oleh beliau ke ruangan tamu di dalam rumah itu akan tapi benakku tidak habis berpikiran,
“Duh ada apakah ini?”
Sesampai dalam,
“Sst… perlahan-lahan ya… Detty tentu kembali pulas.” Kita beringsut masuk ke kamar anaknya dan saya cuma melihat saat beliau mengecup kening putrinya yang manis itu perlahan.
Kami berdua bergandengan masuk ruangan keluarga dan duduk santai lantas mengobrol lama di situ. Beliau mengenalkan satu gelas orange jus. “Aduh, apa yang wajib saya lakukan”, pikirku.
Entahlah setan mana yang merasuk diriku saat beliau akan duduk kembali di karpet yang tebal itu, saya merangkul badannya dalam sekali pergerakan dan merengkuhnya dalam pangkuanku. Beliau cuma termenung sesaat dan berkata,
“Kita berdua sudah sama dewasa dan tahu ke mana ini ke arah kan? ” Saya tidak menjawab cuma mulai membenarkan rincian rambut beliau yang jatuh terurai dan mengusung badan moleknya terus kuat ke dekapanku, dan kubisikkan di telinganya, “Beni sayang sekali dan hormat pada Ibu, oleh penyebabnya Beni tidak akan melakukan perbuatan beberapa macam.” Tragisnya waktu itu suatu hal mendesakku untuk mengecup halus cuping telinga dan mengendusi leher sampai ke belakang kupingnya.
Kusaksikan sekilas beliau tutup kelopak matanya dan mendesah halus.
“Kau tahu saya sudah lama tidak merasa seperti ini Ben…” Kebandelanku meruyak dan saya mulai mencari muka beliau dengan bibir dan lidahku dengan halus dan perlahan-lahan.
Tiap sentuhannya membuat si bunda mendesah semakin dalam dan beliau merengkuh punggungku terus kuat. Ke-2 tanganku mulai nakal memasuki ke sejumlah tempat di badan beliau yang mulus harum dan terurus.
Saya bukan fans ulung, infact waktu itu saya masih tetap perjaka tapi lingkup wacanaku berkenaan sex benar-benar luas.
“Nantikan ya Ben… bunda akan bebersih dahulu.” Ugh apa yang terjadi, saya tersadarkan dan saat beliau masuk ke, tanpa berpikir panjang saya bergerak keluar dan segara lari ke mobil dan memicunya menjauhi rumah Bunda Ir. Asna dosenku, saat sebelum segala hal terlanjur terjadi. Saya terlampau menghargainya dan… ah dasarnya berat buatku untuk mengkhianati keyakinan yang sudah beliau share jg suaminya. Sepintas kusaksikan muka ayu beliau melihat melalui gorden jendela tapi kutegaskan hatiku untuk memicu mobil dan melejit ke rumah Vani.
Sepanjang perjalanan keinginan yang sudah tersadarkan dalam diriku memberikan dampaknya. Saya tidak dapat fokus, semua rambu kuterjang dan cuma dewi fortuna yang dapat mengakibatkan saya sampai dengan selamat ke pavilyun Vani. Vani ialah seorang gadis yang aduhai seksi dan menarik, kekasih temanku. Tapi dari dahulu dianya sudah mengaku jika Vani menyenangiku. Bahkan juga dianya sudah seringkali sukses memaksakan untuk bercumbu denganku. Faktor yang aku pikir tidak ada kelirunya sebagai sebuahpelatihan bagiku. Saya mengetok pintu kamar paviliunnya tanpa jawaban, kubuka selekasnya dan Vani sedang jalan ke arahku,
“Sendiri?” tanyaku. Vani cuma menggangguk dan tanpa cukup banyak ba bi bu, saya menyerobot di depan dan kupagut bibirnya yang merah bikin gemas.
Kami berciuman dalam dan bergairah. “Mengapa Ben?” di antara kecupan kami, Vani menanyakan, saya tidak menjawab dan kuciumi dengan buas leher Vani, sampai dianya gelagapan dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu sementara tangan kiriku dengan cekatan dekap Vani semakin kuat dalam dekapanku. “Brak!” kurengkuh Vani, kuangkat dan kugendong ke kasur.
“Ugh buas sekali kalian Ben…” Sebuah senyuman aneh menghias muka Vani yang cantik.
Kurebahkan Vani dan kembali kita berpagutan dalam episode erotis yang liar dan menggentarkan. Saya berubah ke bawah dan kutelusuri kaki Vani yang tingkatan dengan bibirku dan kufokuskan di bagian paha dalamnya. Kukecup mesra betis kanannya. Vani cuma mengeluh kenikmatan sekalian cekikikan lirih karena geli. Kugigit-gigit kecil paha yang putih dan mulus menarik itu sekalian tanganku tidak henti membelai dan menggairahkan Vani dengan beberapa gerakan tangan dan jemari yang memutar-mutar pada payudaranya yang seksi dan ranum.
Dengan sekali ambil, piyama yang dikenainya lepas dan kulemparkan ke lantai, sedangkan saya bergerak menindih Vani. Kami sama-sama menanggalkan sampai tidak ada satu helai benang juga yang jadi pemisah tarian kita yang lama-lama semakin liar. “Beni ahhh… Beni… Beni…” Vani terus berbisik lirih saat kukuakkan ke-2 kakinya dan saya ke arah kewanitaannya yang membukit melawan. Kusibakkan rambut pubic-nya yang lebat tapi rapi dan dan merta wewangiannya yang ciri khas menyodok ke hidungku. Memiliki bentuk demikian melawan menjadi entahlah mengapa saya segera menyenanginya. Kuhirup kewanitaan Vani dengan keras dan lidahku mulai mencari tepian labia minora-nya yang sudah basah oleh cairan putih bening dengan harum pheromone menarik. Kubuka ke-2 labia-nya dengan jariku dan khususupkan lidahku perlahan salah satunya sentuh klitorisnya yang sudah jadi membesar dan kemerahan.
“Aaagh…” Vani menjerit ketahan, kesan yang dirasanya demikian menggebu-gebu dan terus menghidupkan semangatku.
Detik itu jg saya putuskan untuk melepaskan status keperjakaanku yang entahlah apalah maknanya. Sesaat pikiranku membumbung pada Bunda Asna, ah apa yang terjadi esok? Kubuang jauh hati itu dan kupusatkan perhatianku pada gadis elok molek yang terbujur pasrah dan melawan di hadapanku ini. Vani juga okelah. Malam hari ini saya akan bercinta dengannya. Dengan ujungnya yang kuruncingkan saya menotol-notolkan lidahku ke kewanitaan Vani sampai dia melenguh keras panjang dan pendek.
Lama, saya bermain-main dengan sejumlah tehnik yang kupelajari dari buku. Betul kata orangtua, membaca itu baik untuk tingkatkan pengetahuan. Kuhirup semua cairan yang keluar darinya dan terus dalam saya menyelusupkan lidahku menelusuri permukaan yang halus itu terus keras lenguhan yang kedengar dari bibir Vani. Saya naik perlahan-lahan dan kuciumi pusar, perut dan tahapan bawah payudaranya yang membulat tegak melawan. Wajib kuakui badan molek Vani, kekasih temanku ini benar-benar cantik. Lidahku menelusuri permukaan beledu itu dengan penuh hati sampai sampai ke puting payudaranya yang kecoklat-coklatan. Saya stop, kupandangi lama sampai Vani berteriak ingin tahu,
“Mari Ben… nantikan apalagi sayang.”
Saya beralih ke atas, di hadapanku sekarang ini muka putih cantiknya yang kemerahan sekalian menggigit bibir bawahnya karena tidak dapat meredam pergolakan di dadanya. Hmm… panorama yang jarang kudapat pikirku. Tanganku raih ke samping, kusentuh perlahan putingnya yang berdiri membubung benar-benar menarik dengan telunjukku.
“Aaah Ben… jangan membuat saya edan, please Ben…” Dengan pergerakan tiba-tiba, saya menyantap puting itu kunyah, permainkan, dan memilinnya dengan lidahku yang cukup mengusai.
(Aku tahu Vani benar-benar peka dengan kepunyaannya yang satu itu, bahkan juga cukup dengan itu juga Vani dapat orgasme saat kita seringkali bercumbu dahulu). Vani menjerit-jerit kebahagiaan. Kebahagian menerpanya sampai dia maju dan akan merangkul tubuhku.
“Eits, nanti dulu Non… jangan terlampau cepat sayang”, saya menjauh dan menyiksanya, agar nantinya jg tahu rasanya multi orgasme.
Napas Vani yang mengincar dan keringat mengalir deras dari pori-porinya cukup kurasa. Saya bangun dan pergi ke dapur kecil minum satu gelas air dingin.
“Jaaahat Beni… jahaat…” kudengar seruannya.
Saat saya kembali, badannya menggigil dan tangannya tidak henti menggairahkan kewanitaanya. Saya tidak suka faktor itu, dan kutepis tangannya,
“Sini… agar aku…” Saya kembali lagi ke arah mukanya dan kupagut bibirnya yang merah itu dan kita bersilat lidah dengan semangat menggelora. Kuraih badan imutnya dalam dekapanku dan kutindih pinggulnya dengan tubuhku.
“Uugh…” dianya mendesah dibalik kecupan kami. Ke-2 bibir kita sama-sama melumat dan menggigit dengan gesitnya, seakan sama-sama berlomba-lomba.
Birahi dan sejumlah pergolakan hati mendesak benar-benar hebat. Benar-benar intens mendobrak-gedor semua syaraf kita untuk sama-sama menggairahkan dan memberikan kepuasan si musuh. Kejantananku meminta perhatian dan mendesak-desak sampai permukaan atasnya sarat dengan goresan urat yang benar-benar peka. Duh… waktunya kah? saya kebingungan sesaat tapi kubulatkan kemauanku dan dengan selekasnya saya menjauhi Vani. Tanpa diminta kembali Vani meregangkan ke-2 pahanya dan menyongsong ketersediaanku dengan seluruh hati. Punggungnya membusur dan siap-siap. Sementara saya mempersiapkan penisku dan menuntunnya ke arah pasangannya yang sudah lumer licin oleh cairan kewanitaannya.
Oh my God… kesan yang waktu itu kurasakan benar-benar menggentarkan, saat pertama kaliku. Gigitan bibir bawah Vani memperlihatkan ketdksabarannya dan dengan ke-2 betisnya dianya mendesak pinggulku untuk bekerja maju di depan. Pada akhirnya ke-2 nya melekat. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke klitorisnya dan Vani meraung, masa sich demikian spektakuler? Biasa-biasa sajalah. Kudesak di depan perlahan-lahan (saya tahu ini ialah faktor pertama untuk dianya jg) sial… mana muat? Ah tentu muat. Kusibakkan dengan ke-2 jariku sekalian pinggulku mendesak kembali secara halus tapi oke. Membelalak Vani saat penisku sudah menyodok antara lubang kewanitaannya.
Sekalian matanya mendelik, meredam napas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Vani mengajarkan dengan menggenggam penisku, “Hmm… Ben? jangan sangsi sayang…” Dengan oke saya menghentakkan pinggulku di depan agar Vani menjerit. Loh semacamganya sudah tenggelam ke. Hangat, basah, ketat benar-benar spektakuler. Pinggang kugerakkan ke kanan dan ke kiri.
Sementara Vani kepedasan dan air matanya sedikit melihat dari ujung matanya yang berbinar cantik tersebut.
“Mengapa sayang?” tanyaku.
“Tidak pa-pa Ben… terusin saja sayang… Saya ialah punyamu, semua punyamu…”
“Sungguh…”
Saya tahu tentulah memilukan untuk gadis mana saja walaupun sebandel Vani, bila kehilangan keperawanannya. Karena itu untuk menentramkannya saya merangkul badannya dan kuangkat dalam dekapan, proses itu membuat penisku terus saat merasuk ke Vani. Dianya mendelik kenikmatan, matanya yang cantik merem terbuka dan bibirnya tidak henti mendesah,
“Ben sayaaang… ugh enaknya.” Waktu itu saya sedang pikirkan Bunda Asna.
Aneh, mili untuk mili penisku menusuk deras ke diri Vani dan terus dalam dan setiap saya gerakkan pinggulku ke kanan dan ke kiri sekujur badan Vani tergetar, merinding menggeliat keras, lantas kudesak ke sekalian kadang-kadang kutarik dan ulur. Vani menjerit keras sekali dan kubungkam dengan kecupanku, glek… jika kedapatan bunda kost-nya sanggups kami. Saya tidak menygka sebegitu ketatnya kewanitaan Vani, sampai penisku terasanya dipegang oleh sebuah mesin pemijat yang walaupun rapat tapi memberbagi rasa santai dan nikmat yang tidak terhitung. Pemulasan yang kuperbuat sudah cukup menjadi kulit permukaan atasnya kuyakin tidak lecet sementara perjalanan penisku ke arah pada akhirnya terus dekat. Hangat hebat, hangat dan basah menarik, tulang-tulangku seolah akan lepas oleh rasa nyeri yang benar-benar berlebihan. Hati ini ternyata yang benar-benar didambakan berjuta pria.
Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok
“Eh… Vani sayang… kasihan kau, terlihat benar-benar menanggung derita, walaupun saya sadar dirinya benar-benar menikmatinya”. Mukanya berganti-gantian mengerenyit dan membelalak sampai akhirnya cukup dalam, kusibakkan lubang kemaluan Vani-ku tercinta dengan penisku sampai bersisa sedikit di luarnya.
Vani mendesah dan membisikkan kata-kata sayang yang kedengar seperti musik di telingaku. Saya mendenyutkan penisku dan menggerakkan ke kanan dan ke kiri bersinggungan dengan sebagian besar permukaan dalam rahimnya, mentokkah? Sejumlah benjolan yang ada dalam lubang memeknya kutekan dengan penisku, sampai Vani akan menjerit kembali, tapi selekasnya kubungkam kembali dengan kecupan yang garang pada bibirnya.
Kutindih ia, kutekan tubuhnya sampai melesak ke kasur yang empuk dan kusetubuhi dianya gairah yang menggelegak. Dengan oke dan teratasi saya meningkatkan pinggulku sampai kepala penisku hampir tersembul keluar. Ugh, kesannya dan selekasnya kutekan kembali, oooh pergeseran itu hebat cantik dan nikmat.
Gadis seksi yang ranum itu merem terbuka kenikmatan dan ritus ini kita lakukan dengan tenang dan rileks, memiliki irama tapi aktif. Pinggulnya yang montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertarungan sampai segala hal semakin intensif saat suatu hal yang hangat meng ikuti kontraksi hebat pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas penisku, dan ditingkahi bulu mata Vani yang tergetar cepat menyusul berbau orgasme yang sedang mendekatinya. Saya sebelumnya sempat membaca faktor ini.
“Shhs sayang Vani… jangan dahulu ya sayang ya…”
“Shhh… Beni… tidak tahan aku… Beennn… shhhh…”
“Cup cup… tenang sayang…” kukecup halus matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya.
Vani berkurang, saya stop.
“Beni… kalian sampai hati ih…” Vani cemberut sekalian luar biasa-narik bulu dadaku.
“Sshhh sayangku… agar saja, entar jika sudah meletus tentu nikmat deh… minum dahulu yok sayang…”
Saya hebat keluar penisku, saya tidak ingin Vani tumpah, walaupun begitu saat saya hebat penisku, dia merengkuhku dengan kuat sampai berasa sakit meredam kesan hebat yang baru saja dianya merasai. Kalian beberapa pembaca wanita yang sebelumnya sempat bercinta tentu sebelumnya sempat rasakan faktor tersebut. Sambil minum saya hebat napas panjang dan menurunkan juga pergolakan gairahku, saya ingin yang pertama ini menjadi cantik untuk kita berdua. Apes, daya ingatku melayg lagi ke Bunda Asna. Apa yang sekarang dianya lakukan? Bagaimana kondisi ia? Ah masalah esok sajalah. Dengan melonjak saya menjalar naik kembali ke badan Vani yang sedang tersenyum nakal.
“Minum sayang…” dianya memberengut dan minum secara cepat.
“Mari Beni… jangan jahat dong…”
Dengan 1 pergerakan cepat saya menyisipkan diri antara ke-2 kakinya sambil membelainya cepat dan menempatkan penisku ke bukit-bukit yang ranum tersebut. Cairan putih yang kental berkesan menetes keluar.
Kusibakkan kewanitaannya, dan secara cepat kutelusupkan penisku ke dalamnya. Ugh, berdenyut ke-2 nya masuk dia, dengan oke kudorong pinggulku mengayuh di depan. Vani juga menyambutnya dengan suka ria. Akhirnya dengan selekasnya dianya sudah masuk lewat lubang yang licin basah dan hangat itu ke diri Vani dan bersarang dengan santainya. Karena itu dimulailah tarian Tango tersebut. Telusuri kehalusan beledu dan seperti menaiki pucuk bukit-bukit yang hebat cantik, kita berdua bergerak dengan erotis dan ritmis, bersama menggapai-gapai ke what so called kepuasan tidak ada tara. Pergerakan tangkai kejantananku dan pergeserannya dengan ‘diri’ Vani benar-benar sulit dipotretkan kata-kata. Kontraksi yang barusan sudah surut mulai kembali menimpa dan tingkatkan enaknya pijatan yang dibuat pada penisku. Tanganku menghentak tutup mulutnya saat Vani menjerit keras dan melenguh kenikmatan. Lama kutahan dengan coba mengubah perhatian pada sejumlah subyek non erotis.
Saya mendadak menjadi buntet, Yap… Darwin, eksistensialist, le corbusier, pilotis, doppler, dan Thalia. Hah, Thalia yang seksi itu loh. Duh… kembali dech daya ingatku pada persetubuhan kita yang menggentarkan ini. Ah, cicipi saja, keringat kita yang bercampur bersamaan dengan pertautan badan kita yang seakan tidak ingin terpisah, pergerakan pinggulnya yang aduhai, berbau persetubuhan yang kental pada udara, jeritan-jeritan lirih tanpa pemahaman yang cuma dapat dimengerti oleh dua makhluk yang sedang memadu cinta, perjalanan yang panjang dan tidak berbuntut.
Sampai tekanan itu tidak tertahan kembali seperti bendungan yang jebol, kita berdua menjerit-jerit ketahan dan mendelik dalam nikmat yang berusaha kita bataskan dalam sebuahluapan gestur jiwa. Vani bobol, berkali-kali, berantai, menjerit-jerit, deras keluar pancarkan cairan yang membasahi dan tingkatkan kehangatan untuk penisku yang jg tengah meregang-regang dan tergetar akan menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan peralihan cepat pada renyutan lubang memeknya yang hangat dan ketat menjepit penisku. Akh, saya tidak kuat kembali.
Di beberapa detik yang hebat itu saya ingat Tuhan, dosa, dan Bunda Asna yang sudah saya bersedihkan, tp cuma sebentar saat sinaran itu mulai membobol tidak ada yang dipikiranku kecuali… kepuasan, lega yang mengawang-ngawang dan kebahagiaan yang melimpah. Saya melenguh keras dan meremas pundak dan bokong sekal Vani yang jg tengah mendelik dan meneriakkan limpahan hatinya dengan rintihan birahi. Berkali-kali muncrat dan menyemburkan keluar tumpah ke lubang senggama si gadis manis dan seksi tersebut.
Geez… nikmat hebat. Lemas yang susul dengan mendadak menimpa sekujur badanku sampai saya jatuh dan menerpa Vani yang selekasnya merengkuhku dan membisikkan kata-kata sayang.
“Sedap sekali Beni, duh Gusti…” Saya menjilat-jilati lehernya dan biarkan penisku masih tetap tiduran dan melemas dalam kehangatan lubang kewanitaannya (ya ampun sekarang juga saya ingat kemaluan Vani dan saya merinding ingin mengulangi kembali).
Renyut-denyut itu masih tetap berasa, membelai penisku dan menidurkannya dalam kelemasan dan ketenangan yang damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Vani dengan gaungs. Vani membalasnya menjewer kupingku, walaupun masih tetap dalam tindihan badanku.
“Beni sayang… kalian keras kepala sekali deh… bagaimana jika Rian tahu nantinya Ben…”
“Iya… dan bagaimana Vina-ku ya?” dalam hatiku.
Tragisnya kembali, kita teratur meperbuatnya berkali-kali tiap ada kesempatan. Seperti tidak ada besok, dengan sejumlah style dan panduan tidak puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di atas kasur, di bath tub, bahkan juga di kedinginan malam teras belakang paviliun sekalian ketawa cekikikan. Rasa cemas kedapatan yang disertai kepuasan tertentu memicu adrenalin terus deras, yang segala hal membuat nafsu.
Tidak kusangka kita terkuras habis, capek tidak ketahan tapi pagi sudah mendekati dan saya wajib bertemu dengan Bunda Asna. Saya bergerak mengambil langkah menjauhi dari tempat tidur walaupun dengan lutut lemas seperti karet dan badanku sempoyong. Kamar mandi tujuanku. Selekasnya saja saya masuk ke bath tub dan mengguyuri sekujur badan telanjangku sama air dingin. Brrr… lemas yang menimpa perlahan-lahan terangkut bersamaan dengan bangunnya kesadaranku. Sekalian merendam saya ingat lagi kilatan peristiwa yang tempo hari ini hari terjadi.
Sejak waktu itu pendampingsiku dengan Bunda Asna jalan beku, dan dianya berkesan dingin sekali, benar-benar professional di hadapanku. Beliau kembali terbuktiilku dengan anda, bukan panggilan manja Beni kembali seperti dahulu. Saya serba salah, tidak sadarkah dianya jika saya pulang malam itu karena menghargai dan menyayginya? Sampai 2 hari mendekati sidang akhir, dan kondisi belum makin membaik, fotoku usai tapi belum mendapatkan kesepakatan dari Bu Asna. Kuputuskan untuk bertandang ke tempat tinggalnya, walaupun saya tidak jelas apa Pak Indra berada di sana alias tidak.
Hari itu mobilku dipinjamkan oleh teman dekatku, sedangkan siangnya hujan rintik turun perlahan-lahan. Ugh, bisa dibuktikan saya ditakdirkan untuk tidak berhasil sidang ini hari. Segera kucegat angkot dan secara terus dekatnya teritori rumah beliau, terus deg-degan debar jantungku. Kucoba ingat semua peristiwa tadi malam saat saya dan Vani bercinta untuk beberapa kalinya, untuk kurangi keresahanku.
Saya turun dari angkot dalam deras hujan dan dengan sedikit berlari saya buka gerbang dan menerobos ke pelataran. Basah sudah bajuku, kuyup dan bunga Aster yang kubawakan sudah tidak berwujud kembali. Kubunyikan bel dan menunggu. Bagaimana jika beliau keluar? bagaimana jika Pak Indra ada di dalam rumah? dan beratus what if kacau sampai saya tidak mengetahui jika muka cantik dan badan molek Bunda Asna sudah berdiri sejumlah mtr. di depanku. Saat saya sadar senyumannya masih tetap dingin, tp ada rasa kasihan terbesit terlihat dari muka keratonnya yang saat lagi ini teratur menghias mimpi-mimpiku. Saya cuma dapat memberikan bunga yang sudah rusak itu dan menjelaskan,
“Maafkan saya…”
Badanku yang menggigil kedinginan dan kuyup itu sejenisnya mengunggah rasa kasihan di hati beliau dan saya merasakan beliau tersenyum dan menjelaskan,
“Sudah Beni, cepat masuk, mengganti pakaian sana… 2 hari kembali kalian sidang loh… entar jika sakit kan Bunda jg yang ribet.” Uuugh, leganya beban ini sudah terangkut dari dadaku, dan saya menghambur masuk.
“Maaf Bu, saya basah kuyup.” Beliau masuk ke dan selekasnya membawa handuk utkku.
“Sana ke kamar dan mengganti pakaian gih, pakai saja kaus-kaus Bapak.” KubeAsnakan diri, mendoyongkan badan dan mengecup keningnya, “Terima kasih cukup banyak Bu…” Si bunda sedikit terperanjat dan menepiskan mukaku.
“Sudah sana, masuk… mengganti pakaian kamu.” Dengan sedikit cengengesan saya masuk ke dan keringkan badanku, dan menukar pakaian dengan kaus yang benar-benar cocok di tubuhku.
Selekasnya saya keluar dan cari Bunda Asna. Beliau lagi ada di dapur coba membuatkan satu cangkir teh panas utkku. Aduuh, saya sedikit terharu. Dengan beringsut saya dekatinya dan merengkuh beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepiskan badanku dan menjauh.
“Beni… kalian berpikir kalian dapat semaunya saja demikian.” Saya termenung.
“Saya meminta maaf Bu, saat itu saya pergi karena Beni tidak sanggup Bu… Ibu, orang yang paling saya hargai dan cintai, mungkin Beni butuh waktu, Bu…” sekalian menjelaskan begitu saya dekatinya dan menggenggam bahu kanan beliau dan memberikan sedikit pijatan halus. Beliau bergetar dan terlihat sedikit melunak.
Saya merapat kembali, “Ibu ingin maafkan Beni?” sekalian kutatap tajam matanya, selanjutnya perlahan-lahan saya dekatkan mukaku ke muka ayu si ibu.
“Tp Ben…”
Beliau terlihat kebingungan, tapi ciuman lembutku sudah bersarang halus pada keningnya. Kurengkuh Asna yang ranum itu dalam dekapanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yang merah mengembang tersebut. Napas Asna sedikit mengincar dan bibirnya mengembang terbuka.
Sebelumnya sedikit pasif kecupan yang kuterima, selanjutnya lidahku menelusup ke dan sentuh giginya yang putih, cari lidahnya. Getar-getar yang dirasanya memaksakan Asna untuk memerima lidahku dan sama-sama bertautlah lidah kita berdua, menari-nari dalam kangen dan rasa sayang yang sulit dipahami. Pikirkan beliau ialah dosenku yang kuhormati, yang walaupun cantik dan ayu, putih dan memesona menarik, tapi tetap ialah orang yang seharusnya kujunjung tinggi.
“Jangan di sini Ben, Fitri dapat tiba kapan pun.”
Kutebak Fitri ialah nama pesuruh mereka.
“Bapak?”
“Ah diamkan saja ia”, kata dosen pujaanku tersebut.
Diambilnya tanganku ke kamarnya yang mereka rancang berdua.
“Buu… Bapak di mana?”
Wanita masak yang hebat elok itu kembali menanyakan, “Mengapa, kalian takut? Pulang sana, jika kalian takut.”
Ah, kutenangkan hatiku dan percaya dianya tentu jg tidak akan biarkan ada konfrontasi di dalam rumah mereka . Maka saya medahului Asna (saat ini saya cuma terbuktigil beliau bernama Asna atas permohonannya. Selain itu, Asna juga tidak berbeda jauh usia denganku) dan pada sebuah pergerakan tangan, Asna sudah ada pada pondonganku, selanjutnya kuciumi mukanya dengan mesra, lehernya, dan sedikit belahan di dadanya. Mendekati dekat sama tempat peraduan, Asna kuturunkan dan saya undur melihatinya seperti saya melihatinya pertama kalinya. Sebelumnya Asna sedikit kikuk.
“Mengapa? Saya elok kan?”
Asna bergerak gemulai seakan sedang menari, duh Gusti… elok sekali. Dia kenakan daster panjang warna light cobalt yang menerawang.
Kupastikan Asna tidak kenakan apapun kembali di belakangnya. Payudaranya bundar dan penuh terurus, pinggulnya teratur membuat beberapa mahasiswi iri bergosip dan mahasiswa berdecak takjub. Saya tiba-tiba mengambil langkah maju dan secara halus kutarik ikatan ada di belakang punggungnya, sampai seperti episode slow motion daster itu perlahan-lahan jatuh ke lantai dan tampilkan sebuah panorama mengagumkan, hebat cantik. Badan telanjang Ir. Asna yang menarik. Tanpa nantikan semakin lama saya mengambil langkah lagi di depan dan kita berpagutan mesra, halus dan menuntut.
Mendesak-desak kita sama-sama mencumbu. Kecupan terdahsyat yang sebelumnya sempat kualami, kesannya demikian mempesona. Lidahnya menerobos bibirku dan dengan penuh gairah telusuri permukaan dalam mulutku. Bibirnya yang imut dan merah mengembang cantik kulumat secara halus tapi tentu. Harapan yang hebat ini, waktu itu saya bahkan juga akan mencubit lengan kiriku untuk memberikan keyakinan jika ini bukan mimpi. Asna menanggalkan bajuku dan loloskan kaosku, sekalian kadang-kadang stop kagum pada gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yang cukup sektor dan perutku yang rata karena seringkali diterpa push-up.
Kami berdua sekarang telanjang seperti bayi. Sedikit ada ironi di saat itu, dan kita berdua mengetahuinya dan tersenyum kecil dan sama-sama melihat mesra. Saya memegang ke-2 tangannya dan ajaknya berdansa kecil, eh norak tp romantis. Asna tergelak dan menyandar kepalanya ke dadaku dan kita ber-slow dance di situ, di dalam kamar itu, saya dan Asna, tanpa baju. Penisku tanpa malu berdiri dengan tegaknya, dan kadang-kadang disinggung oleh tangan lentik Asna. Dengan perutnya dia mendesak penisku ke atas dan melekat ke arah atas, duh nyeri tapi spektakuler.
Waktu itu cukup remang karena hujan lebat dan cuaca dingin, tapi rambut Asna yang cantik terurai harum terlihat terang buatku. Kucium dan kubelai rambutnya sekalian kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yang teratur dibalasnya dengan… gombal, berbohong dan cekikikan yang bikin gemas. Saya terus sayang kepadanya.
Ah, saya tidak kuat kembali. Kudesak badan Asna ke tepian peraduan, kubaringkan punggungnya sementara kakinya terbaring menjuntai ke lantai. Saya berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki tingkatannya yang mulus. Dan memulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sekalian kupegang secara halus, kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan-lahan dari bawah sampai ke arah pahanya. Pada pahanya yang putih mulus saya meperbuat pergerakan berputar-putar dengan lidahku. Asna mendesah kegelian.
“Ben, it perasaan so good, saya ingin menjerit jadinya…” Saat ke arah kewanitaannya yang dengan bulu rapi dan harum, saya menggunakan ke-2 tanganku untuk membelai-belai tahapan itu sampai Asna melenguh kurang kuat.
Lantas sekalian menyibakkan ke-2 labianya, saya menggigit-gigit dan menjepit klitorisnya yang tengah mendangak, secara halus sekali. “Aduuuh Ben, saya sampai sayang…” Sebagian besar cairan kental putih melaju deras keluar dalam lubang kewanitaaannya dan dengan selekasnya berbau menusuk merasuk hidungku. Dengan hidungku saya mendesak-desak ke permukaan kewanitaannya. Asna menjerit-jerit ketahan.
“Beniiii… nggghh… Ben… aduhh…” Asna langsung bangun raih dan meremas rambutku selanjutnya terus memencetnya ke belahan dianya yang sedang menggelegak. Simak juga: Bacaan Seks Terkini 2023 Tetangga Elok Bahenol
Kuhirup semua cairan yang keluar dari-nya, benar-benar seksi rasanya. Saya mengenal harum pheromone ini benar-benar unik dan menarik. Asna-ku tercinta jg menyenanginya, sampai menitikkan sedikit air mata. Saya naik ke atas dan menentramkan pacar dan dosenku tersebut. Dengan muka penuh peluh Asna teruslah memesona.
“Aduh Ben, Asna sudah lama tidak banjir seperti gitu… mungkin hati Asna terlampau melimpah ya sayang ya…” Dengan manja bunda yang setiap harinya tampil anggun itu melumat bibirku dan menciumi semua permukaan mukaku sekalian cekikikan.
Aduuuh, saya sangat sayang sama dosenku yang satu ini. Kudekap Asna dalam dekapanku kuat begitu jg dibalasnya tidak kalah gaungsnya, menjadi seolah-olah kita satu.
Saya ingin ini terus selama-lamanya, dekap wanita yang kusayangi ini sepanjang hayatku jika dapat, tp nuAsnaku berbisik jika saya tidak dapat meperbuatnya. Pada akhirnya kuliahku sudah selesai dan kualitas yang memberikan kepuasan sudah kuraih, wisuda sudah lama melalui, dan sekarang saya sudah jadi entrepeneur muda.
Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok – Bacaan seks, bacaan dewasa, bacaan ngentot, bacaan panas, narasi sex terkini 2023. Saya ialah mahasiswa arsitektur tingkat akhir dalam suatu kampus swasta di kota Bandung, dan sudah waktunya melakukan pekerjaan akhir sebagai persyaratan kelulusan. Untung, saya kebagian seorang dosen yang rileks dan kebenaran ialah seorang ibu. Asna namanya, umurnya 30 thn pintar dan elok
sulit untuk mengfotokan kejelitaan si ibu. Bersuami seorang dosen juga yang kebenaran ialah favorite beberapa anak karena moderat dan benar-benar akomodatif. Secara singkat cukup banyak teman-kawanku yang sedikit iri mengenali saya kebagian pendidik Bunda Asna.
“Dasar lu… sedap sangat kebagian bunda yang elok cantik…” Jika sudah demikian saya cuma tersenyum kecil, toh dapat apa sich pikirku.
Kelompok Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok
narasi seks, narasi dewasa, narasi ngentot, narasi cabul
Narasi Seks 2023 Proses pendampingsi dengan Bunda Asna benar-benar mengasyikan, karena bukan hanya beliau berpikiran luas, saya jg disuguhi kemolekan badan dan muka beliau yang sembunyi-sembunyi kukagumi. Karena itu dibandingkan teman-kawanku termasuk rajin berasistensi dan perkembangan fotoku cukup cepat. Tiap pendampingsi mengusung kita berdua terus berteman keduanya. Bahkan juga sebuahsaat, saya membawa sejumlah kuntum bunga aster yang kutahu benar-benar dicintainya. Sekalian tersenyum dianya berkata,
“Kamu coba membujuk Ibu, Ben?”
Saya ingat mukaku saat itu segera bersemu merah dan untuk hapus grogiku, saya segera melangsungkan photo dan menanyakan mana-mana. Tp tidak batal kuperhatikan ada binar berbahagia di mata beliau. Sehabis peristiwa itu setiap asitensi saya seringkali merasakan beliau sedang melihatku dengan pandangan yang entahlah apakah arti, beliau semakin seringkali sharing berkenaan banyak hal. Pendampingsi menjadi melantur ke berbagai subyek, dari masalah di dalam kantor dosen sampai anak tunggalnya yang barusan keluarkan kata pertama kalinya. Sebenarnya saya menyenangi perubahan ini tapi tidak ada satu juga pikiran aneh dalam benakku karena hormat pada beliau.
Hingga… di saat peristiwa. Sebuahmalam saya pendampingsi sedikit tengah malam dan beliau bisa dibuktikan masih tetap berada di kantor jam 8 malam tersebut. Yang pertama berkesan ialah mata beliau yang cantik itu sedikit merah dan sembab. “Wah, saat yang buruk nih”, pikirku. Tp dianya menunjuk ke bangku dan sedikit tersenyum menjadi aku pikir tidak ada apa-apa jika kulanjutkan. Sehabis semua proses pendampingsi usai saya membeAsnakan diri menanyakan, “Ada apakah Bu? Kok terlihat cukup bersedih?”
Gelap menyelimutinya kembali mukanya walaupun berusaha diselinapkannya senyuman manisnya.
“Ah biasa sajalah Ben, masalah.”
Ya sudah jika demikian saya selekasnya bergerak dan memselesaikan semua kertasku. Dianya termenung lama dan saat saya sudah capai pintu, baru…
“Golongan Pria bisa dibuktikan teratur egois ya Beni?”
Saya kembali dan sehabis berpikiran cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan menanyakan berhati-hati.
“Jika bisa saya mengetahui, mengapa Bunda menjelaskan demikian? Karena sepengetahuan saya wanita bisa dibuktikan teratur menjelaskan demikian, tp saya tidak sama pendapat karena certain individu punyai ego-nya masing-masing, dan tidak dapat dikelompokkan dalam sebuahstereotype tertentu.”
Matanya mulai nasib dan kita beradu argumen panjang berkenaan subyek itu dan ujungnya terbukalah rahasia perkawinannya yang saat lagi ini mereka menyembunyikan. Iya, jika pasangan itu terlihat serasi oleh kita mahasiswa, mereka sangat kaya, ke-2 nya berparas good looking, dan faktor-faktor lain yang dapat membuat pasangan lain iri melihat kecocokan mereka. Tapi semua itu tutupi sebuah masalah fundamental jika tidak ada cinta dari mereka. Mereka berdua dijodohkan oleh orangtua mereka yang konvensional dan saat lagi ini ke-2 nya nasib dalam kepalsuan. Faktor ini diperkurang baik oleh kasarnya tindakan Pak Indra (suami beliau) di dalam rumah pada Bu Asna (bukti yang sedikit membuatku terhenyak, ugh begitu palsunya manusia karena saat lagi ini di muka kita beliau berkesan sebagai figur yang peduli dan gentle).
Secara singkat beliau sekalian terisak menumpahkan isi hatinya malam itu dan itu semua membuat dianya sedikit lega, dan mengusung hati aneh buatku, membuat saya merasa penting dan dekat sama beliau. Kita putuskan untuk jalan malam itu, ke Lembang dan beliau memberikan kehormatan buatku dengan turut ke sedan punyaku. Sedikit grogi kubukakan pintu buatnya dan tergesa masuk lantas mengemudikan mobil dengan extra berhati-hati. Diperjalanan kita lebih cukup banyak diam sekalian nikmati gubahan kreasi Chopin yang mengalun halus melalui stereo. Kucoba sedikit bergurau dan menghangatkan situasi dan kelihatannya cukup sukses karena beliau bahkan juga sudah dapat ketawa terpingkal-pingkal sekarang ini.
“Kamu tentu sudah mempunyai kekasih ya Beni?”
“Eh eh eh”, saya gelagapan.
Iya sich memang, bahkan juga ada banyak, tapi tentu saja saya tidak akan mengaku faktor itu di depannya.
“Tidak kok Bu… belum ada… mana laris saya, Bu…” balasku sekalian tersenyum lebar.
“Huuu, berbohong!” teriaknya sekalian dicubitnya lengan kiriku.
“Cowok seperti kalian tentu playboy deh… ngaku saja!”
Saya tidak dapat menjawab, kepalaku masih tetap disanggupi bukti jika beliau barusan mencubit lenganku. Ugh, begitu berdebar-debar dadaku dibikinnya. Berbeda jika teman wanitaku yang lain yang mencubit.
Tengah malam sudah datang dan sudah waktunya beliau kuantar pulang sehabis nikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Wilayah Dago Pakar maksudnya dan waktu itu sudah jam satu malam saat kita berdua capai gerbang rumah beliau yang eksotis.
“Ingin tidak kalian singgah ke rumahku dahulu, Ben?” ajaknya.
“Loh apa kata Bapak entar Bu?” tanyaku.
“Ah Bapak kembali ke Kupang kok, riset.”
Hm… benakku sangsi tapi senyuman manis yang menghias bibir beliau membuat bibirku berkata menyetujui. Saya merasakan diriku ditarik-tarik manja oleh beliau ke ruangan tamu di dalam rumah itu akan tapi benakku tidak habis berpikiran,
“Duh ada apakah ini?”
Sesampai dalam,
“Sst… perlahan-lahan ya… Detty tentu kembali pulas.” Kita beringsut masuk ke kamar anaknya dan saya cuma melihat saat beliau mengecup kening putrinya yang manis itu perlahan.
Kami berdua bergandengan masuk ruangan keluarga dan duduk santai lantas mengobrol lama di situ. Beliau mengenalkan satu gelas orange jus. “Aduh, apa yang wajib saya lakukan”, pikirku.
Entahlah setan mana yang merasuk diriku saat beliau akan duduk kembali di karpet yang tebal itu, saya merangkul badannya dalam sekali pergerakan dan merengkuhnya dalam pangkuanku. Beliau cuma termenung sesaat dan berkata,
“Kita berdua sudah sama dewasa dan tahu ke mana ini ke arah kan? ” Saya tidak menjawab cuma mulai membenarkan rincian rambut beliau yang jatuh terurai dan mengusung badan moleknya terus kuat ke dekapanku, dan kubisikkan di telinganya, “Beni sayang sekali dan hormat pada Ibu, oleh penyebabnya Beni tidak akan melakukan perbuatan beberapa macam.” Tragisnya waktu itu suatu hal mendesakku untuk mengecup halus cuping telinga dan mengendusi leher sampai ke belakang kupingnya.
Kusaksikan sekilas beliau tutup kelopak matanya dan mendesah halus.
“Kau tahu saya sudah lama tidak merasa seperti ini Ben…” Kebandelanku meruyak dan saya mulai mencari muka beliau dengan bibir dan lidahku dengan halus dan perlahan-lahan.
Tiap sentuhannya membuat si bunda mendesah semakin dalam dan beliau merengkuh punggungku terus kuat. Ke-2 tanganku mulai nakal memasuki ke sejumlah tempat di badan beliau yang mulus harum dan terurus.
Saya bukan fans ulung, infact waktu itu saya masih tetap perjaka tapi lingkup wacanaku berkenaan sex benar-benar luas.
“Nantikan ya Ben… bunda akan bebersih dahulu.” Ugh apa yang terjadi, saya tersadarkan dan saat beliau masuk ke, tanpa berpikir panjang saya bergerak keluar dan segara lari ke mobil dan memicunya menjauhi rumah Bunda Ir. Asna dosenku, saat sebelum segala hal terlanjur terjadi. Saya terlampau menghargainya dan… ah dasarnya berat buatku untuk mengkhianati keyakinan yang sudah beliau share jg suaminya. Sepintas kusaksikan muka ayu beliau melihat melalui gorden jendela tapi kutegaskan hatiku untuk memicu mobil dan melejit ke rumah Vani.
Sepanjang perjalanan keinginan yang sudah tersadarkan dalam diriku memberikan dampaknya. Saya tidak dapat fokus, semua rambu kuterjang dan cuma dewi fortuna yang dapat mengakibatkan saya sampai dengan selamat ke pavilyun Vani. Vani ialah seorang gadis yang aduhai seksi dan menarik, kekasih temanku. Tapi dari dahulu dianya sudah mengaku jika Vani menyenangiku. Bahkan juga dianya sudah seringkali sukses memaksakan untuk bercumbu denganku. Faktor yang aku pikir tidak ada kelirunya sebagai sebuahpelatihan bagiku. Saya mengetok pintu kamar paviliunnya tanpa jawaban, kubuka selekasnya dan Vani sedang jalan ke arahku,
“Sendiri?” tanyaku. Vani cuma menggangguk dan tanpa cukup banyak ba bi bu, saya menyerobot di depan dan kupagut bibirnya yang merah bikin gemas.
Kami berciuman dalam dan bergairah. “Mengapa Ben?” di antara kecupan kami, Vani menanyakan, saya tidak menjawab dan kuciumi dengan buas leher Vani, sampai dianya gelagapan dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu sementara tangan kiriku dengan cekatan dekap Vani semakin kuat dalam dekapanku. “Brak!” kurengkuh Vani, kuangkat dan kugendong ke kasur.
“Ugh buas sekali kalian Ben…” Sebuah senyuman aneh menghias muka Vani yang cantik.
Kurebahkan Vani dan kembali kita berpagutan dalam episode erotis yang liar dan menggentarkan. Saya berubah ke bawah dan kutelusuri kaki Vani yang tingkatan dengan bibirku dan kufokuskan di bagian paha dalamnya. Kukecup mesra betis kanannya. Vani cuma mengeluh kenikmatan sekalian cekikikan lirih karena geli. Kugigit-gigit kecil paha yang putih dan mulus menarik itu sekalian tanganku tidak henti membelai dan menggairahkan Vani dengan beberapa gerakan tangan dan jemari yang memutar-mutar pada payudaranya yang seksi dan ranum.
Dengan sekali ambil, piyama yang dikenainya lepas dan kulemparkan ke lantai, sedangkan saya bergerak menindih Vani. Kami sama-sama menanggalkan sampai tidak ada satu helai benang juga yang jadi pemisah tarian kita yang lama-lama semakin liar. “Beni ahhh… Beni… Beni…” Vani terus berbisik lirih saat kukuakkan ke-2 kakinya dan saya ke arah kewanitaannya yang membukit melawan. Kusibakkan rambut pubic-nya yang lebat tapi rapi dan dan merta wewangiannya yang ciri khas menyodok ke hidungku. Memiliki bentuk demikian melawan menjadi entahlah mengapa saya segera menyenanginya. Kuhirup kewanitaan Vani dengan keras dan lidahku mulai mencari tepian labia minora-nya yang sudah basah oleh cairan putih bening dengan harum pheromone menarik. Kubuka ke-2 labia-nya dengan jariku dan khususupkan lidahku perlahan salah satunya sentuh klitorisnya yang sudah jadi membesar dan kemerahan.
“Aaagh…” Vani menjerit ketahan, kesan yang dirasanya demikian menggebu-gebu dan terus menghidupkan semangatku.
Detik itu jg saya putuskan untuk melepaskan status keperjakaanku yang entahlah apalah maknanya. Sesaat pikiranku membumbung pada Bunda Asna, ah apa yang terjadi esok? Kubuang jauh hati itu dan kupusatkan perhatianku pada gadis elok molek yang terbujur pasrah dan melawan di hadapanku ini. Vani juga okelah. Malam hari ini saya akan bercinta dengannya. Dengan ujungnya yang kuruncingkan saya menotol-notolkan lidahku ke kewanitaan Vani sampai dia melenguh keras panjang dan pendek.
Lama, saya bermain-main dengan sejumlah tehnik yang kupelajari dari buku. Betul kata orangtua, membaca itu baik untuk tingkatkan pengetahuan. Kuhirup semua cairan yang keluar darinya dan terus dalam saya menyelusupkan lidahku menelusuri permukaan yang halus itu terus keras lenguhan yang kedengar dari bibir Vani. Saya naik perlahan-lahan dan kuciumi pusar, perut dan tahapan bawah payudaranya yang membulat tegak melawan. Wajib kuakui badan molek Vani, kekasih temanku ini benar-benar cantik. Lidahku menelusuri permukaan beledu itu dengan penuh hati sampai sampai ke puting payudaranya yang kecoklat-coklatan. Saya stop, kupandangi lama sampai Vani berteriak ingin tahu,
“Mari Ben… nantikan apalagi sayang.”
Saya beralih ke atas, di hadapanku sekarang ini muka putih cantiknya yang kemerahan sekalian menggigit bibir bawahnya karena tidak dapat meredam pergolakan di dadanya. Hmm… panorama yang jarang kudapat pikirku. Tanganku raih ke samping, kusentuh perlahan putingnya yang berdiri membubung benar-benar menarik dengan telunjukku.
“Aaah Ben… jangan membuat saya edan, please Ben…” Dengan pergerakan tiba-tiba, saya menyantap puting itu kunyah, permainkan, dan memilinnya dengan lidahku yang cukup mengusai.
(Aku tahu Vani benar-benar peka dengan kepunyaannya yang satu itu, bahkan juga cukup dengan itu juga Vani dapat orgasme saat kita seringkali bercumbu dahulu). Vani menjerit-jerit kebahagiaan. Kebahagian menerpanya sampai dia maju dan akan merangkul tubuhku.
“Eits, nanti dulu Non… jangan terlampau cepat sayang”, saya menjauh dan menyiksanya, agar nantinya jg tahu rasanya multi orgasme.
Napas Vani yang mengincar dan keringat mengalir deras dari pori-porinya cukup kurasa. Saya bangun dan pergi ke dapur kecil minum satu gelas air dingin.
“Jaaahat Beni… jahaat…” kudengar seruannya.
Saat saya kembali, badannya menggigil dan tangannya tidak henti menggairahkan kewanitaanya. Saya tidak suka faktor itu, dan kutepis tangannya,
“Sini… agar aku…” Saya kembali lagi ke arah mukanya dan kupagut bibirnya yang merah itu dan kita bersilat lidah dengan semangat menggelora. Kuraih badan imutnya dalam dekapanku dan kutindih pinggulnya dengan tubuhku.
“Uugh…” dianya mendesah dibalik kecupan kami. Ke-2 bibir kita sama-sama melumat dan menggigit dengan gesitnya, seakan sama-sama berlomba-lomba.
Birahi dan sejumlah pergolakan hati mendesak benar-benar hebat. Benar-benar intens mendobrak-gedor semua syaraf kita untuk sama-sama menggairahkan dan memberikan kepuasan si musuh. Kejantananku meminta perhatian dan mendesak-desak sampai permukaan atasnya sarat dengan goresan urat yang benar-benar peka. Duh… waktunya kah? saya kebingungan sesaat tapi kubulatkan kemauanku dan dengan selekasnya saya menjauhi Vani. Tanpa diminta kembali Vani meregangkan ke-2 pahanya dan menyongsong ketersediaanku dengan seluruh hati. Punggungnya membusur dan siap-siap. Sementara saya mempersiapkan penisku dan menuntunnya ke arah pasangannya yang sudah lumer licin oleh cairan kewanitaannya.
Oh my God… kesan yang waktu itu kurasakan benar-benar menggentarkan, saat pertama kaliku. Gigitan bibir bawah Vani memperlihatkan ketdksabarannya dan dengan ke-2 betisnya dianya mendesak pinggulku untuk bekerja maju di depan. Pada akhirnya ke-2 nya melekat. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke klitorisnya dan Vani meraung, masa sich demikian spektakuler? Biasa-biasa sajalah. Kudesak di depan perlahan-lahan (saya tahu ini ialah faktor pertama untuk dianya jg) sial… mana muat? Ah tentu muat. Kusibakkan dengan ke-2 jariku sekalian pinggulku mendesak kembali secara halus tapi oke. Membelalak Vani saat penisku sudah menyodok antara lubang kewanitaannya.
Sekalian matanya mendelik, meredam napas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Vani mengajarkan dengan menggenggam penisku, “Hmm… Ben? jangan sangsi sayang…” Dengan oke saya menghentakkan pinggulku di depan agar Vani menjerit. Loh semacamganya sudah tenggelam ke. Hangat, basah, ketat benar-benar spektakuler. Pinggang kugerakkan ke kanan dan ke kiri.
Sementara Vani kepedasan dan air matanya sedikit melihat dari ujung matanya yang berbinar cantik tersebut.
“Mengapa sayang?” tanyaku.
“Tidak pa-pa Ben… terusin saja sayang… Saya ialah punyamu, semua punyamu…”
“Sungguh…”
Saya tahu tentulah memilukan untuk gadis mana saja walaupun sebandel Vani, bila kehilangan keperawanannya. Karena itu untuk menentramkannya saya merangkul badannya dan kuangkat dalam dekapan, proses itu membuat penisku terus saat merasuk ke Vani. Dianya mendelik kenikmatan, matanya yang cantik merem terbuka dan bibirnya tidak henti mendesah,
“Ben sayaaang… ugh enaknya.” Waktu itu saya sedang pikirkan Bunda Asna.
Aneh, mili untuk mili penisku menusuk deras ke diri Vani dan terus dalam dan setiap saya gerakkan pinggulku ke kanan dan ke kiri sekujur badan Vani tergetar, merinding menggeliat keras, lantas kudesak ke sekalian kadang-kadang kutarik dan ulur. Vani menjerit keras sekali dan kubungkam dengan kecupanku, glek… jika kedapatan bunda kost-nya sanggups kami. Saya tidak menygka sebegitu ketatnya kewanitaan Vani, sampai penisku terasanya dipegang oleh sebuah mesin pemijat yang walaupun rapat tapi memberbagi rasa santai dan nikmat yang tidak terhitung. Pemulasan yang kuperbuat sudah cukup menjadi kulit permukaan atasnya kuyakin tidak lecet sementara perjalanan penisku ke arah pada akhirnya terus dekat. Hangat hebat, hangat dan basah menarik, tulang-tulangku seolah akan lepas oleh rasa nyeri yang benar-benar berlebihan. Hati ini ternyata yang benar-benar didambakan berjuta pria.
Bacaan Seks Dewasa Ibu Asna Dosenku yang Elok
“Eh… Vani sayang… kasihan kau, terlihat benar-benar menanggung derita, walaupun saya sadar dirinya benar-benar menikmatinya”. Mukanya berganti-gantian mengerenyit dan membelalak sampai akhirnya cukup dalam, kusibakkan lubang kemaluan Vani-ku tercinta dengan penisku sampai bersisa sedikit di luarnya.
Vani mendesah dan membisikkan kata-kata sayang yang kedengar seperti musik di telingaku. Saya mendenyutkan penisku dan menggerakkan ke kanan dan ke kiri bersinggungan dengan sebagian besar permukaan dalam rahimnya, mentokkah? Sejumlah benjolan yang ada dalam lubang memeknya kutekan dengan penisku, sampai Vani akan menjerit kembali, tapi selekasnya kubungkam kembali dengan kecupan yang garang pada bibirnya.
Kutindih ia, kutekan tubuhnya sampai melesak ke kasur yang empuk dan kusetubuhi dianya gairah yang menggelegak. Dengan oke dan teratasi saya meningkatkan pinggulku sampai kepala penisku hampir tersembul keluar. Ugh, kesannya dan selekasnya kutekan kembali, oooh pergeseran itu hebat cantik dan nikmat.
Gadis seksi yang ranum itu merem terbuka kenikmatan dan ritus ini kita lakukan dengan tenang dan rileks, memiliki irama tapi aktif. Pinggulnya yang montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertarungan sampai segala hal semakin intensif saat suatu hal yang hangat meng ikuti kontraksi hebat pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas penisku, dan ditingkahi bulu mata Vani yang tergetar cepat menyusul berbau orgasme yang sedang mendekatinya. Saya sebelumnya sempat membaca faktor ini.
“Shhs sayang Vani… jangan dahulu ya sayang ya…”
“Shhh… Beni… tidak tahan aku… Beennn… shhhh…”
“Cup cup… tenang sayang…” kukecup halus matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya.
Vani berkurang, saya stop.
“Beni… kalian sampai hati ih…” Vani cemberut sekalian luar biasa-narik bulu dadaku.
“Sshhh sayangku… agar saja, entar jika sudah meletus tentu nikmat deh… minum dahulu yok sayang…”
Saya hebat keluar penisku, saya tidak ingin Vani tumpah, walaupun begitu saat saya hebat penisku, dia merengkuhku dengan kuat sampai berasa sakit meredam kesan hebat yang baru saja dianya merasai. Kalian beberapa pembaca wanita yang sebelumnya sempat bercinta tentu sebelumnya sempat rasakan faktor tersebut. Sambil minum saya hebat napas panjang dan menurunkan juga pergolakan gairahku, saya ingin yang pertama ini menjadi cantik untuk kita berdua. Apes, daya ingatku melayg lagi ke Bunda Asna. Apa yang sekarang dianya lakukan? Bagaimana kondisi ia? Ah masalah esok sajalah. Dengan melonjak saya menjalar naik kembali ke badan Vani yang sedang tersenyum nakal.
“Minum sayang…” dianya memberengut dan minum secara cepat.
“Mari Beni… jangan jahat dong…”
Dengan 1 pergerakan cepat saya menyisipkan diri antara ke-2 kakinya sambil membelainya cepat dan menempatkan penisku ke bukit-bukit yang ranum tersebut. Cairan putih yang kental berkesan menetes keluar.
Kusibakkan kewanitaannya, dan secara cepat kutelusupkan penisku ke dalamnya. Ugh, berdenyut ke-2 nya masuk dia, dengan oke kudorong pinggulku mengayuh di depan. Vani juga menyambutnya dengan suka ria. Akhirnya dengan selekasnya dianya sudah masuk lewat lubang yang licin basah dan hangat itu ke diri Vani dan bersarang dengan santainya. Karena itu dimulailah tarian Tango tersebut. Telusuri kehalusan beledu dan seperti menaiki pucuk bukit-bukit yang hebat cantik, kita berdua bergerak dengan erotis dan ritmis, bersama menggapai-gapai ke what so called kepuasan tidak ada tara. Pergerakan tangkai kejantananku dan pergeserannya dengan ‘diri’ Vani benar-benar sulit dipotretkan kata-kata. Kontraksi yang barusan sudah surut mulai kembali menimpa dan tingkatkan enaknya pijatan yang dibuat pada penisku. Tanganku menghentak tutup mulutnya saat Vani menjerit keras dan melenguh kenikmatan. Lama kutahan dengan coba mengubah perhatian pada sejumlah subyek non erotis.
Saya mendadak menjadi buntet, Yap… Darwin, eksistensialist, le corbusier, pilotis, doppler, dan Thalia. Hah, Thalia yang seksi itu loh. Duh… kembali dech daya ingatku pada persetubuhan kita yang menggentarkan ini. Ah, cicipi saja, keringat kita yang bercampur bersamaan dengan pertautan badan kita yang seakan tidak ingin terpisah, pergerakan pinggulnya yang aduhai, berbau persetubuhan yang kental pada udara, jeritan-jeritan lirih tanpa pemahaman yang cuma dapat dimengerti oleh dua makhluk yang sedang memadu cinta, perjalanan yang panjang dan tidak berbuntut.
Sampai tekanan itu tidak tertahan kembali seperti bendungan yang jebol, kita berdua menjerit-jerit ketahan dan mendelik dalam nikmat yang berusaha kita bataskan dalam sebuahluapan gestur jiwa. Vani bobol, berkali-kali, berantai, menjerit-jerit, deras keluar pancarkan cairan yang membasahi dan tingkatkan kehangatan untuk penisku yang jg tengah meregang-regang dan tergetar akan menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan peralihan cepat pada renyutan lubang memeknya yang hangat dan ketat menjepit penisku. Akh, saya tidak kuat kembali.
Di beberapa detik yang hebat itu saya ingat Tuhan, dosa, dan Bunda Asna yang sudah saya bersedihkan, tp cuma sebentar saat sinaran itu mulai membobol tidak ada yang dipikiranku kecuali… kepuasan, lega yang mengawang-ngawang dan kebahagiaan yang melimpah. Saya melenguh keras dan meremas pundak dan bokong sekal Vani yang jg tengah mendelik dan meneriakkan limpahan hatinya dengan rintihan birahi. Berkali-kali muncrat dan menyemburkan keluar tumpah ke lubang senggama si gadis manis dan seksi tersebut.
Geez… nikmat hebat. Lemas yang susul dengan mendadak menimpa sekujur badanku sampai saya jatuh dan menerpa Vani yang selekasnya merengkuhku dan membisikkan kata-kata sayang.
“Sedap sekali Beni, duh Gusti…” Saya menjilat-jilati lehernya dan biarkan penisku masih tetap tiduran dan melemas dalam kehangatan lubang kewanitaannya (ya ampun sekarang juga saya ingat kemaluan Vani dan saya merinding ingin mengulangi kembali).
Renyut-denyut itu masih tetap berasa, membelai penisku dan menidurkannya dalam kelemasan dan ketenangan yang damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Vani dengan gaungs. Vani membalasnya menjewer kupingku, walaupun masih tetap dalam tindihan badanku.
“Beni sayang… kalian keras kepala sekali deh… bagaimana jika Rian tahu nantinya Ben…”
“Iya… dan bagaimana Vina-ku ya?” dalam hatiku.
Tragisnya kembali, kita teratur meperbuatnya berkali-kali tiap ada kesempatan. Seperti tidak ada besok, dengan sejumlah style dan panduan tidak puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di atas kasur, di bath tub, bahkan juga di kedinginan malam teras belakang paviliun sekalian ketawa cekikikan. Rasa cemas kedapatan yang disertai kepuasan tertentu memicu adrenalin terus deras, yang segala hal membuat nafsu.
Tidak kusangka kita terkuras habis, capek tidak ketahan tapi pagi sudah mendekati dan saya wajib bertemu dengan Bunda Asna. Saya bergerak mengambil langkah menjauhi dari tempat tidur walaupun dengan lutut lemas seperti karet dan badanku sempoyong. Kamar mandi tujuanku. Selekasnya saja saya masuk ke bath tub dan mengguyuri sekujur badan telanjangku sama air dingin. Brrr… lemas yang menimpa perlahan-lahan terangkut bersamaan dengan bangunnya kesadaranku. Sekalian merendam saya ingat lagi kilatan peristiwa yang tempo hari ini hari terjadi.
Sejak waktu itu pendampingsiku dengan Bunda Asna jalan beku, dan dianya berkesan dingin sekali, benar-benar professional di hadapanku. Beliau kembali terbuktiilku dengan anda, bukan panggilan manja Beni kembali seperti dahulu. Saya serba salah, tidak sadarkah dianya jika saya pulang malam itu karena menghargai dan menyayginya? Sampai 2 hari mendekati sidang akhir, dan kondisi belum makin membaik, fotoku usai tapi belum mendapatkan kesepakatan dari Bu Asna. Kuputuskan untuk bertandang ke tempat tinggalnya, walaupun saya tidak jelas apa Pak Indra berada di sana alias tidak.
Hari itu mobilku dipinjamkan oleh teman dekatku, sedangkan siangnya hujan rintik turun perlahan-lahan. Ugh, bisa dibuktikan saya ditakdirkan untuk tidak berhasil sidang ini hari. Segera kucegat angkot dan secara terus dekatnya teritori rumah beliau, terus deg-degan debar jantungku. Kucoba ingat semua peristiwa tadi malam saat saya dan Vani bercinta untuk beberapa kalinya, untuk kurangi keresahanku.
Saya turun dari angkot dalam deras hujan dan dengan sedikit berlari saya buka gerbang dan menerobos ke pelataran. Basah sudah bajuku, kuyup dan bunga Aster yang kubawakan sudah tidak berwujud kembali. Kubunyikan bel dan menunggu. Bagaimana jika beliau keluar? bagaimana jika Pak Indra ada di dalam rumah? dan beratus what if kacau sampai saya tidak mengetahui jika muka cantik dan badan molek Bunda Asna sudah berdiri sejumlah mtr. di depanku. Saat saya sadar senyumannya masih tetap dingin, tp ada rasa kasihan terbesit terlihat dari muka keratonnya yang saat lagi ini teratur menghias mimpi-mimpiku. Saya cuma dapat memberikan bunga yang sudah rusak itu dan menjelaskan,
“Maafkan saya…”
Badanku yang menggigil kedinginan dan kuyup itu sejenisnya mengunggah rasa kasihan di hati beliau dan saya merasakan beliau tersenyum dan menjelaskan,
“Sudah Beni, cepat masuk, mengganti pakaian sana… 2 hari kembali kalian sidang loh… entar jika sakit kan Bunda jg yang ribet.” Uuugh, leganya beban ini sudah terangkut dari dadaku, dan saya menghambur masuk.
“Maaf Bu, saya basah kuyup.” Beliau masuk ke dan selekasnya membawa handuk utkku.
“Sana ke kamar dan mengganti pakaian gih, pakai saja kaus-kaus Bapak.” KubeAsnakan diri, mendoyongkan badan dan mengecup keningnya, “Terima kasih cukup banyak Bu…” Si bunda sedikit terperanjat dan menepiskan mukaku.
“Sudah sana, masuk… mengganti pakaian kamu.” Dengan sedikit cengengesan saya masuk ke dan keringkan badanku, dan menukar pakaian dengan kaus yang benar-benar cocok di tubuhku.
Selekasnya saya keluar dan cari Bunda Asna. Beliau lagi ada di dapur coba membuatkan satu cangkir teh panas utkku. Aduuh, saya sedikit terharu. Dengan beringsut saya dekatinya dan merengkuh beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepiskan badanku dan menjauh.
“Beni… kalian berpikir kalian dapat semaunya saja demikian.” Saya termenung.
“Saya meminta maaf Bu, saat itu saya pergi karena Beni tidak sanggup Bu… Ibu, orang yang paling saya hargai dan cintai, mungkin Beni butuh waktu, Bu…” sekalian menjelaskan begitu saya dekatinya dan menggenggam bahu kanan beliau dan memberikan sedikit pijatan halus. Beliau bergetar dan terlihat sedikit melunak.
Saya merapat kembali, “Ibu ingin maafkan Beni?” sekalian kutatap tajam matanya, selanjutnya perlahan-lahan saya dekatkan mukaku ke muka ayu si ibu.
“Tp Ben…”
Beliau terlihat kebingungan, tapi ciuman lembutku sudah bersarang halus pada keningnya. Kurengkuh Asna yang ranum itu dalam dekapanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yang merah mengembang tersebut. Napas Asna sedikit mengincar dan bibirnya mengembang terbuka.
Sebelumnya sedikit pasif kecupan yang kuterima, selanjutnya lidahku menelusup ke dan sentuh giginya yang putih, cari lidahnya. Getar-getar yang dirasanya memaksakan Asna untuk memerima lidahku dan sama-sama bertautlah lidah kita berdua, menari-nari dalam kangen dan rasa sayang yang sulit dipahami. Pikirkan beliau ialah dosenku yang kuhormati, yang walaupun cantik dan ayu, putih dan memesona menarik, tapi tetap ialah orang yang seharusnya kujunjung tinggi.
“Jangan di sini Ben, Fitri dapat tiba kapan pun.”
Kutebak Fitri ialah nama pesuruh mereka.
“Bapak?”
“Ah diamkan saja ia”, kata dosen pujaanku tersebut.
Diambilnya tanganku ke kamarnya yang mereka rancang berdua.
“Buu… Bapak di mana?”
Wanita masak yang hebat elok itu kembali menanyakan, “Mengapa, kalian takut? Pulang sana, jika kalian takut.”
Ah, kutenangkan hatiku dan percaya dianya tentu jg tidak akan biarkan ada konfrontasi di dalam rumah mereka . Maka saya medahului Asna (saat ini saya cuma terbuktigil beliau bernama Asna atas permohonannya. Selain itu, Asna juga tidak berbeda jauh usia denganku) dan pada sebuah pergerakan tangan, Asna sudah ada pada pondonganku, selanjutnya kuciumi mukanya dengan mesra, lehernya, dan sedikit belahan di dadanya. Mendekati dekat sama tempat peraduan, Asna kuturunkan dan saya undur melihatinya seperti saya melihatinya pertama kalinya. Sebelumnya Asna sedikit kikuk.
“Mengapa? Saya elok kan?”
Asna bergerak gemulai seakan sedang menari, duh Gusti… elok sekali. Dia kenakan daster panjang warna light cobalt yang menerawang.
Kupastikan Asna tidak kenakan apapun kembali di belakangnya. Payudaranya bundar dan penuh terurus, pinggulnya teratur membuat beberapa mahasiswi iri bergosip dan mahasiswa berdecak takjub. Saya tiba-tiba mengambil langkah maju dan secara halus kutarik ikatan ada di belakang punggungnya, sampai seperti episode slow motion daster itu perlahan-lahan jatuh ke lantai dan tampilkan sebuah panorama mengagumkan, hebat cantik. Badan telanjang Ir. Asna yang menarik. Tanpa nantikan semakin lama saya mengambil langkah lagi di depan dan kita berpagutan mesra, halus dan menuntut.
Mendesak-desak kita sama-sama mencumbu. Kecupan terdahsyat yang sebelumnya sempat kualami, kesannya demikian mempesona. Lidahnya menerobos bibirku dan dengan penuh gairah telusuri permukaan dalam mulutku. Bibirnya yang imut dan merah mengembang cantik kulumat secara halus tapi tentu. Harapan yang hebat ini, waktu itu saya bahkan juga akan mencubit lengan kiriku untuk memberikan keyakinan jika ini bukan mimpi. Asna menanggalkan bajuku dan loloskan kaosku, sekalian kadang-kadang stop kagum pada gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yang cukup sektor dan perutku yang rata karena seringkali diterpa push-up.
Kami berdua sekarang telanjang seperti bayi. Sedikit ada ironi di saat itu, dan kita berdua mengetahuinya dan tersenyum kecil dan sama-sama melihat mesra. Saya memegang ke-2 tangannya dan ajaknya berdansa kecil, eh norak tp romantis. Asna tergelak dan menyandar kepalanya ke dadaku dan kita ber-slow dance di situ, di dalam kamar itu, saya dan Asna, tanpa baju. Penisku tanpa malu berdiri dengan tegaknya, dan kadang-kadang disinggung oleh tangan lentik Asna. Dengan perutnya dia mendesak penisku ke atas dan melekat ke arah atas, duh nyeri tapi spektakuler.
Waktu itu cukup remang karena hujan lebat dan cuaca dingin, tapi rambut Asna yang cantik terurai harum terlihat terang buatku. Kucium dan kubelai rambutnya sekalian kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yang teratur dibalasnya dengan… gombal, berbohong dan cekikikan yang bikin gemas. Saya terus sayang kepadanya.
Ah, saya tidak kuat kembali. Kudesak badan Asna ke tepian peraduan, kubaringkan punggungnya sementara kakinya terbaring menjuntai ke lantai. Saya berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki tingkatannya yang mulus. Dan memulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sekalian kupegang secara halus, kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan-lahan dari bawah sampai ke arah pahanya. Pada pahanya yang putih mulus saya meperbuat pergerakan berputar-putar dengan lidahku. Asna mendesah kegelian.
“Ben, it perasaan so good, saya ingin menjerit jadinya…” Saat ke arah kewanitaannya yang dengan bulu rapi dan harum, saya menggunakan ke-2 tanganku untuk membelai-belai tahapan itu sampai Asna melenguh kurang kuat.
Lantas sekalian menyibakkan ke-2 labianya, saya menggigit-gigit dan menjepit klitorisnya yang tengah mendangak, secara halus sekali. “Aduuuh Ben, saya sampai sayang…” Sebagian besar cairan kental putih melaju deras keluar dalam lubang kewanitaaannya dan dengan selekasnya berbau menusuk merasuk hidungku. Dengan hidungku saya mendesak-desak ke permukaan kewanitaannya. Asna menjerit-jerit ketahan.
“Beniiii… nggghh… Ben… aduhh…” Asna langsung bangun raih dan meremas rambutku selanjutnya terus memencetnya ke belahan dianya yang sedang menggelegak. Simak juga: Bacaan Seks Terkini 2023 Tetangga Elok Bahenol
Kuhirup semua cairan yang keluar dari-nya, benar-benar seksi rasanya. Saya mengenal harum pheromone ini benar-benar unik dan menarik. Asna-ku tercinta jg menyenanginya, sampai menitikkan sedikit air mata. Saya naik ke atas dan menentramkan pacar dan dosenku tersebut. Dengan muka penuh peluh Asna teruslah memesona.
“Aduh Ben, Asna sudah lama tidak banjir seperti gitu… mungkin hati Asna terlampau melimpah ya sayang ya…” Dengan manja bunda yang setiap harinya tampil anggun itu melumat bibirku dan menciumi semua permukaan mukaku sekalian cekikikan.
Aduuuh, saya sangat sayang sama dosenku yang satu ini. Kudekap Asna dalam dekapanku kuat begitu jg dibalasnya tidak kalah gaungsnya, menjadi seolah-olah kita satu.
Saya ingin ini terus selama-lamanya, dekap wanita yang kusayangi ini sepanjang hayatku jika dapat, tp nuAsnaku berbisik jika saya tidak dapat meperbuatnya. Pada akhirnya kuliahku sudah selesai dan kualitas yang memberikan kepuasan sudah kuraih, wisuda sudah lama melalui, dan sekarang saya sudah jadi entrepeneur muda.